Menurutnya saat ini ada beberapa hal yang membuat Indonesia tak bisa mencapai swasembada pangan yakni pertama terkait alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan pertanian sangat mempengaruhi produktivitas hasil pertanian. Pasalnya, luas lahan pertanian saat ini hanya sekitar 8,1 juta hektare. Dan penundaan alih fungsi lahan hanya dapat didorong
ArticlePDF Available Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Perspektif, Tan. Industri Vol. 19 No. 2 /Des. 2020. Hlm 105-121 DOI ISSN 1412-8004 e-ISSN 2540-8240 Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 105 KERUSAKAN TANAH PADA LAHAN PERKEBUNAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGANNYA Soil Deterioration of Plantation Land and Strategies for Its Prevention and Handling BARIOT HAFIF Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Indonesian Industrial and Beverage Crops Research Institute JalanRaya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi, Indonesia e- mail hafif_bariot ABSTRAK Tanah areal perkebunan Indonesia seluas 26,5 juta ha yang terdiri atas tanah mineral dan tanah gambut, rentan mengalami kerusakan. Penyebabnya antara lain pengelolaan tanah berlebihan, penggunaan tidak sesuai dengan kelas kesesuaian lahan, dan pengembalian hara tidak berimbang. Kerusakan tanah juga didorong oleh sifat alam seperti curah hujan tinggi, topografi berlereng dan erodibilitas tanah penulisan artikel adalah membahas berbagai indikator kerusakan tanah pada lahan perkebunandan strategi pencegahan serta penanggulangannya. Indikator penilaian kerusakan sifat fisika, kimia dan biologi tanah mineral yang relatif baru adalah sealing/crusting lapisan tanah tipis kedap air, pemadatan tanah, kandungan logam berat dan residu pestisida, dan kandungan pada tanah gambut seperti perubahan simpanan karbon, tingkat respirasi, emisi gas rumah kaca GRK, tingkat kematangan gambut, perubahan tinggi muka air, subsidensi dan kontaminasi polutan. Untuk menghindari kerusakan tanah pada lahan perkebunan, cara preventif dinilai lebih baik. Cara ini diantaranya dapat digapai dengan memaksimalkan penutupan permukaan tanah oleh kanopi. Untuk hal itu pertumbuhan tanaman harus optimal dengan menyediakan hara, air dan bahan organik yang cukup, dan memelihara stabilitas agregat dan ruang pori tanah. Cara lain adalah menerapkan pola agroforestri dan teknologi konservasi. Untuk menghindari tanah gambut dari kerusakan maka pemilihan komoditas perkebunan harus selektif diantaranya tanaman harus berkontribusi nyata dalam sekuestrasi karbon gambut, pola tataguna lahan sesuai dengan hasil penilaian kesesuaian lahan gambut, lahan merupakan kawasan budidaya, ketebalan gambut tidak >3 tiga meter, tanah gambut bukan kategori fibrik, dan tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. Kata kunci kerusakan tanah, tanah mineral, tanah gambut, lahan perkebunan, ABSTRACT Indonesia's plantation area of million ha, consisting of mineral soils and peat soils, is vulnerable to damage. The causes include excessive soil management, land use is improper to land suitability, and imbalanced nutrient returns. Soil deterioration is also driven by natural characteristics such as rainfall, topography, and soil erodibility. The purpose of this article is to discussvarious indikators of soil deterioration on plantation land and strategies for their prevention and control. Indicators in the assessment of physical, chemical, and biological characteristics deterioration of mineral soils are relatively new, are sealing/crusting, soil compaction, the content of heavy metals, pesticide residues, and microbes. While in peat soils are deposits carbon, respiration rates, greenhouse gas GHG emissions, peat maturity, water table level, peat subsidence and pollutant contamination. Preventive measures are better to avoid damage to plantation soil. This method can be achieved, among others, by maximizing the cover of the soil surface by the canopy. For this, plant growth must be optimal by providing sufficient nutrients, water, and organic matter and maintaining the aggregates stability, and soil pore space. Another way is to apply agroforestri patterns and conservation peat soil from being damaged, plantation commodities selected should contribute significantly to the carbon sequestration of peatand land-use patterns based on peatland suitability assessment,besides the peat soils are in cultivation areas, peat soil thickness is 40%. Seperti dilaporkan Subiksa et al. 2012 sekitar 39,5 % dari total luas lahan pertaniandan lahan perkebunan, berada pada tanah berkemiringan > 15%. Tabel 1. Sebaran komoditas perkebunan pada berbagai jenis tanah di Indonesia 1 Karet, Kelapa sawit, Kopi Robusta, Kakao, Lada, Kelapa Dalam Inseptisols, Ultisol, Oksisol Taksonomi; Acrisols, Ferralsols, or Podzols FAO 2 Teh, kopi Arabika, Kina, Kayumanis 3 Kelapa Sawit, Kelapa Genjah, Kopi Liberika, Nenas, Pinang Sumber 1Susetyo and Hadi, 2012; Wigena et al., 2009; Dai et al. dan Hidayat et 2017; FKPR, Badan Litbang Pertanian, 2013, 2Sukarman dan Dariah, 2014; Fiantis, Hakim and Ranst, 2005, 3Sardjono, 2017; Hafif and Sasmita 2020 108 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri Pada Tabel 1 disajikan komoditas-komoditas perkebunan dan jenis tanah untuk pengembangannya di Indonesia. Tanah mineral untuk pengembangan karet, kelapa sawit, kopi Robusta, kakao, lada merupakan tanah tingkat perkembangan sedang Inceptisols sampai lanjut Ultisols dan Oxisols Soil Survey Staff, 2014. Sedangkan tanaman teh, kopi Arabika, kina dan kayu manis kebanyakan dikembanngkan pada tanah Andisols dengan ketinggian lahan diatas 700 m dpl. Tanah Andisols merupakan tanah dengan tingkat perkembangan sedang Soil Survey Staff, 2014 yang terbentuk dari bahan gelas vulkanik/allophan. Tanah ini umumnya bertekstur debu silt sehingga peka sampai sangat peka terhadap erosi Dangler dan Swayfi dalam Dariah et al., 2004. Tanah Gambut Tanah gambut Organosol adalah suatu lahan/areal yang ditutupi oleh endapan bahan organik dengan ketebalan > 50 cm dan sebagian besar bahan belum melapuk sempurna serta kandungan C organik > 12% Subardja et al., 2014. Di Indonesia terdapat tanah gambut seluas 21 juta ha Agus dan Subiksa, 2008. Komoditas perkebunan yang secara luas memanfaatkan tanah gambut adalah kelapa sawit dengan luasan diperkirakan mencapai 1,5 juta ha Sukarman, 2014. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang mampu beradaptasi baik pada tanah gambut dan bila didukung dengan pengelolaan air yang tepat dan dilakukan perbaikan stabilitas tanah gambut maka hasil kelapa sawit akan baik dan berkelanjutan Sabiham dan Sukarman, 2012. Saat ini kebanyakan tanah gambut telah mengalami kerusakan dan sekitar 25% dari total lahan gambut di Indonesia dikategorikan mengalami kerusakan berat dan menjadi isu lahan kritis Wahyunto dan Dariah, 2014; Osaki et al., 2019. Tanah gambut adalah tanah yang fragile/mudah mengalami rusak karena 1 kandungan unsur hara pada tanah gambut relatif rendah sehingga produktivitas cepat menurun, dan 2 irreversible drying sulit kembali basah bila mengalami kekeringan setelah di drainase, akibatnya terjadi subsidensi volume gambut menurun Agus dan Subiksa, 2008.Subsidensi juga bisa diakibatkan oleh proses dekomposisi, dan erosi. Isu lain yang terkait dengan kerusakan tanah gambut adalah isu lingkungan yang menganggap setiap pemanfaatan tanah gambut akan mengganggu peran tanah gambut sebagai simpanan karbon dunia dan juga memicu peningkatan emisi gas rumah kaca terutama CO2. Pada Tabel 1 disajikan beberapa jenis komoditas yang dikembangkan pada tanah Gambut yaitu kelapa sawit, kelapa genjah, kopi Liberika, nenas dan pinang. FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN TANAH PERKEBUNAN Kerusakan tanah pada lahan perkebunan secara umum disebabkan oleh dua faktor yaitu 1 antropogenik campur tangan manusia, dan 2 sifat-sifat alam. Faktor antropogenik adalah kerusakan tanah akibat campur tangan manusia dalam mengelola habitat, sedangkan faktor alam adalah kerusakan tanah akibat sifat-sifat alami terutama unsur-unsur, kemiringan lereng, iklim dan sifat tanah yang secara umum fragil terhadap kerusakan. Antropogenik Faktor antropogenik mempunyai efek yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan tanah Curebal et al., 2015. Cara penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak cermat dan kurang dilandasi pemahaman pentingnya tindakan konservasi tanah dan air adalah unsur utama dalam mendorong terjadinya kerusakan tanah. Bila faktor antropogenik tersebut berada di bawah sifat-sifat alam seperti sifat curah hujan yang erosive, tanah yang peka terhadap erosi erodibitas tinggi, dan lahan berada pada topografi berlereng maka potensi kerusakan tanah yang terjadi besar. Kerusakan deterioration tanah pada areal perkebunan oleh manusia didorong oleh 1 eksploitasi penggunaan tanah perkebunan yang berlebihan, seperti pemupukan yang tidak tepatdan penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan herbisida yang melewati batas rekomendasi. Tindakan ini menyebabkan ancaman polusi, kehilangan biodiversitas dan gangguan kesehatan, 2 penyalahgunaan Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 109 tataguna lahan, seperti konversi lahan hutan dan lahan gambut ke tanaman perkebunan, 3 penggunaan lahan miring untuk perkebunan yang tidak didukung upaya konservasi tanah dan air, dan 4 tidak seimbangnya hara yang masuk dan hara yang keluar bersama hasil tanaman perkebunan, sehingga kesuburan tanah cepat menurun, dan pada akhirnya tercipta lahan-lahan kritis/rusak Verdoodt, 2012. Faktor antropogenik juga lebih berperan terhadap terjadinya kerusakan tanah gambut. Pendorong utama adalah drainase berlebihan diantaranya untuk penggunaan lahan perkebunan. Melakukan drainase secara berlebihan sehingga muka air tanah gambut rendah akanberakibat terjadinya subsidensi. Melakukan pemadatan tanah gambut untuk penggunaan perkebunan kelapa sawit adalah tindakan yang juga mendorong kerusakan tanah gambut Sari, et al., 2019. Menurut Sukarman 2014 lahan gambut mengalami kerusakan kategori terdegradasi karena mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi dan ekologi. Sekitar 4,4 juta ha lahan gambut di Indonesia termasuk kategori lahan gambut terdegradasi disebabkan faktor antropogenik. Aktivitas perkebunan lain yang mendorong terjadinya kerusakan tanah gambut adalah menjadikan tanah gambut dalam > 3m untuk lahan perkebunankelapa sawit dan atau mengelola lahan perkebunan pada tanah gambut kategori mentah gambut fibrik. Seperti telah diatur didalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/ tanah gambut yang dapat digunakan untuk pengembangan perkebunan adalah tanah gambut area budidaya, berkedalaman 15% Subiksa et al., 2012. Erosi pada lahan berlereng merupakan penyebab utama dari kerusakan tanah seluas 48,2 juta ha atau 25,1% dari luas tanah Indonesia Wahyunto dan Dariah, 2014. Faktor alam lain adalah tanah cenderung peka terhadap erosi erodibility. Karena erosi merupakan penyebab utama kerusakan tanah mineral di Indonesia maka ditetapkan kriteria ambang batas kritis kerusakan tanah akibat erosi di dalam Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 KNLH, 2009. Seperti terlihat pada Tabel 2, bahwa batas kritis kerusakan tanah mineral akibat erosi untuk tanah kedalaman 0,1 ton/ha/tahun sebagai indikasi bahwa tanah bukanlah batu-batuan atau bahan induk yang proporsi terjadi erosinya sangat kecil, tetapi merupakan bahan induk yang sudah melapuk yang mengandung partikel pasir, debu dan liat. Pada tanah gambut, sifat-sifat alam lingkungan sekitarnya lebih berpengaruh terhadap sifat kimia dan fisika tanah gambut Tabel 2. Ambang kritis kerusakan tanah oleh erosi Ambang Kritis Kerusakan Akibat Erosi Sumber Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 KNLH, 2009 110 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri seperti sifat kimia tanah gambut terkait tingkat kesuburan yaitu eutrophic kesuburan tinggi, mesotrophic kesuburan sedang dan oligorophic Kesuburan rendah Andriesse dalam Pandjaitan and Hardjoamidjojo, 1999.Namun curah hujan dengan energi kinetiknya yang menimbulkan erosi juga mendorong kerusakan tanah gambut,khususnya pada tanah gambut terbuka dengankemiringan landai Li et al., 2018. INDIKATOR KERUSAKAN TANAHLAHAN PERKEBUNAN Secara umum indikator kerusakan tanah perkebunan adalah sejalan dengan indikator kerusakan tanah lahan pertanian lainnya. Untuk tanah mineral terindikasi dari kerusakan sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi tanah dan demikian juga untuk tanah gambut. Indikator Kerusakan Tanah Mineral Beberapa indikator terjadinya kerusakan tanah lahan perkebunan antara lain; kehilangan tanah olah oleh erosi, terjadi degradasi kimia mencakup penurunan kandungan hara, degradasi fisika seperti pemadatan tanah, terjadi salinisasi atau sodifikasi, dan degradasi biologi penurunan kandungan mikroba tanah FAO, 2003. Secara lebih rinci kerusakan-kerusakan tanah mineral lahan perkebunan dapat dipilah sebagai berikut a. Kerusakan sifat fisika tanah Sifat fisika tanah sangat penting artinya baik dalam kaitannya dengan fungsi tanah sebagai media tumbuh, maupun untuk keselamatan ekologi. Kerusakan fisika tanah seperti pembentukan sealing/crusting lapisan tanah tipis 1 - 5 mm pada permukaan tanah yang kedap air dan tidak berpori, mengakibatkan kapasitas infiltrasi tanah rendah. Lapisan ini terbentuk oleh daya dispersi butir hujan yang merusak struktur tanah pada kondisi tanah terbuka menjadi butiran halus, ditambah oleh hilangnya bahan organik tanah sebagai pembentuk ruang pori pada tanah oleh erosi Verdoodt, 2012. Bila lapisan tipis ini ditemukan pada permukaan tanah mineral akan mengganggu kemampuan tanah dalam melalukan air ke lapisan tanah bawah infiltrasi, sehingga volume aliran permukaan meningkat dan daya simpan air tanah menurun. Lapisan ini tidak hanya meningkatkan bahaya erosi dalam merusak tanah, tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup tanaman perkebunan akibat rendahnya kadar air tersedia di dalam tanah. Kerusakan tanah dengan terjadinya pemadatan tanah, terindikasi dari meningkatnya BD bulk density dan menurunnya total ruang pori tanah. Istilah kerapatan pamadatan tanah soil packing density PD digunakan untuk menentukan tingkat potensi pemadatan tanah atau kerentanan tanah mineral untuk memadat Verdoodt, 2012. Nilai PD Tabel 3 berdasarkan besaran BD terukur yaitu PD= BD + 0,009C, dan C adalah kandungan liat % w/w. Faktor yang berpengaruh terhadap pemadatan tanah adalah kandungan bahan organik BO dan air. Semakin rendah kandungan BO tanah, semakin rentan tanah terhadap pemadatan. Pemadatan yang menaikkan nilai PD tanah sampai >1,75 g/cc akan memiliki pori aerasi 0,1 mm Tabel 8Boelter, 1968. Informasi terkait prosentase kandungan serat fibrik, hemik dan saprik dapat memberi banyak pemahaman terkait kerusakan dan potensi gambut sebagai media tumbuh dan penyelamatan ekosistem. Dengan mengetahui kandungan serat gambut, status kerusakan tanah gambut dapat diinterpretasi. Pada Tabel 9 disajikan hubungan serat dengan sifat-sifat gambut diantaranya terlihat semakin halus serat, semakin tinggi BD gambut, dan semakin tidak porus gambut, namun daya simpan dan pegang air cenderung meningkat dan konduktivitas eliktrik menurun. Kerusakan tanah gambut lahan perkebunan juga dapat dikenal dari perubahan sifat kimia khususnya penurunan kandungan karbon dan perubahan C/N rasio pada tanah gambut Sienkiewicz et al., 2019; Leifeld, et al., 2020, menurunnya tingkat kesuburan dan meningkatnya emisi gas rumah kaca CO2 dari tanah gambut KrĂŒger et al., 2015. Terjadinya erosi baik pada permukaan erosi rill dan erosi Tabel 8. Klasifikasi gambut berdasarkan porsi dari serat ukuran > 0,1 mm di dalam gambut Porsi dari masa serat > 0,1 mm di dalam gambut Saprik Pelapukan tinggi Sepertiga sampai duapertiga Fiberik pelapukan rendah Tabel 9. Sifat-sifat fisika penting dari gambut kategori fibrik, hemik dan saprik Daya pegang air 0,1 bar H2O % Konduktivitas hidroulik 10-5 cm/dt * Jumlah air keluar dari gambut bila muka air tanah turun Sumber Boelter, 1968 114 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri parit terjadi pada lahan gambut berkemiringan landai dan atau erosi dibawah permukaan tanah gambut banyak terjadi pada gambut lumut juga indikator dari terjadinya kerusakan tanah gambutLi et al., 2018. Tingkat gangguan/kerusakan dari tanah gambut juga dapat diinterpretasi dari keragaan teknologi pengelolaan yang telah dilakukan antara lain adanya saluran/parit drainase, terindikasi adanya penebangan pohon, ditemukan jalan logging, terdapat bekas pembakaran, tanah gambut terlihat kering/tidak tergenang dan ditemukannya bekas ditambang Sukarman, 2014. Indikator dari keragaan lahan gambut tersebut semuanya akan berpengaruh terhadap ketersediaan hara, dekomposisi dan emisi CO2 dan GRK lainnya, sifat hidrologi, subsidensi, sifat redoks dan stok karbon gambut. PROSES KERUSAKAN TANAH Alur kerusakan tanah akibat antropogenik dan sifat alam disajikan pada Gambar 1 Lal, 2015. Kedua faktor penyebab kerusakan tanah tersebut baik secara sendiri-sendiri atau dalam kombinasi merusak sifat fisika, kimia, biologi dan juga ekologi tanah mineral dan tanah gambut. Kerusakan ekologi tanah oleh antropogenik dan sifat alam adalah terhadap fungsi tanah dalam siklus hara dan hidrologi, produksi biomassa, penyimpan karbon, efisiensi input dan fungsi denaturasi polutan Lal, 2015. Faktor antropogenik dan sifat alam secara bersama berkontribusi terhadap kerusakan tanah baik dalam fungsi tanah sebagai media tumbuh atau dalam fungsinya untuk penyelamatan ekosistem. Kerusakan ekologi akibat faktor antropogenik dan alami dikelompokkan Keterangan *Lapisan tanah tipis 1-5 mm dipermukaan tanah yang kedap air permeabilitas dan pori rendah, sehingga resapan air kapasitas infiltrasi ke dalam tanah menurun - KTK = kapasitas tukar kation, RK = rumah kaca Gambar 1. Proses pengrusakan sifat fisika, kimia, biologi tanah dan ekologi oleh faktor antropogenik dan alami Lal, 2015 Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 115 tersendiri Gambar 1 Lal, 2015, hanya untuk menekankan bahwa selain kerusakan fisika, kimia dan biologi tanah, ada kerusakan lain yang berhubungan dengan kerusakan sifat-sifat tanah tersebut yaitu fungsi ekologi tanah. Kerusakan sifat fisika tanah akibat sealing crusting, pemadatan dan run off adalah juga indikasi terjadinya kerusakan fungsi ekologi tanah sebagai media siklus hara, siklus air dan produksi biomassa, sebagaimana hilangnya solum tanah, suhu tanah meningkat karena kandungan bahan organik rendah, dan aerasi tanah terhambat. Demikian pula kerusakan sifat kimia tanah seperti terjadinya asidifikasi, salinisasi, deplesi kapasitas tukar kation KTK dan hara, dan pencucian adalah pengrusakan fungsi tanah sebagai media tumbuh, namun juga erat hubungannya dengan kerusakan fungsi ekologi tanah untuk purifikasi dan regulasi air, penyimpan karbon dan denaturasi polutan. Pengrusakan sifat biologi tanah seperti hilangnya biodiversitas tanah, adanya patogen tanah dan menurunnya bahan organik adalah indikasi dari penurunan kesuburan tanah fungsi tanah sebagai media tumbuh, sementara emisi GRK dan hilangnya simpanan C merupakan kerusakan fungsi ekologi tanah untuk denaturasi polutan dan mitigasi perubahan iklim. KRITERIA BAKU PENILAIAN KERUSAKAN TANAH Kriteria baku penilaian kerusakan tanah yang dimaksud adalah sifat-sifat tanah mineral dan gambut yang sudah dijadikan batasan dalam penetapan suatu tanah tergolong rusak, berpotensi rusak atau tidak rusak. KNLH 2009, telah merilis suatu buku pedoman teknis penilaian kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bila diantara sifat-sifat dasar tanah tersebut telah melampaui batas baku kerusakan, maka fungsinya sebagai media tumbuh dan produksi biomassa dan dalam penyelamatan ekosistem akan menurun. Di dalam bukupedoman teknis tersebut penilaian kerusakan tanah diantaranya dibatasi oleh kriteria baku kerusakan pada tanah mineral/lahan kering Tabel 11 dan kriteria baku kerusakan sifat-sifat tanah lahan basah/gambut Tabel 12. Pedoman teknis penilaian kerusakan tanah tersebut, sepertinya masih dapat disempurnakan sesuai dengan peruntukan penggunaan tanah/lahan ke depan, sebagaimana penilaian tingkat kerusakan tanah pada lahan perkebunan. Untuk penilaian kerusakan tanah mineral pada lahan perkebunan, maka kriteria baku penilaian kerusakan tanah Tabel 11 dapat ditambahkan dengan beberapa parameter penilaian lainnya seperti observasi keberadaan crusting/sealing lapisan tipis kedap air, yang sifatnya berbeda dengan parameter permeabilitas kecepatan rembesan air dalam keadaan jenuh air, kandungan karbon C-organik yang tidak hanya dilihat dari fungsi tanah untuk media tanam tetapi juga dalam fungsinya sebagai media simpanan C dunia, kandungan logam berat khusunya pada areal perkebunan di lahan bekas tambang dan kandungan residu pestisida. Demikian juga untuk lahan perkebunan pada tanah gambut/lahan basah, kriteria baku Tabel 11. Kriteria baku penilaian kerusakan tanah mineral Komposisi fraksi kasar/pasir % 80% pasir kwarsa Sumber KNLH, 2009 Tabel 12. Kriteria baku penilaian kerusakan tanah gambut/lahan basah Subsidensi gambut ketebalan >3 m Subsidensi gambut ketebalan 3 m, dan tinggi serta lama genangan tidak sesuai jika genangan > 50 cm dan lama genangan > 14 hari Ritung et al. dalam Sukarman, 2015. Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 juga telah memberi petunjuk tentang pemanfaatan tanah gambut untuk budidaya yaitu a tanah gambut yang telah ditetapkan sebagai lahan masyarakat/kawasan budidaya, b mempunyai ketebalan kurang dari 3 tiga meter, c substratum tanah mineral dan di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; d gambut mempunyai tingkat kematangan saprik matang atau hemik setengah matang; dan e kesuburan tanah gambut tergolong eutropik. Begitu pentingnya dalam menjaga kelestarian lahan gambut bukan hanya untuk kepentingan nasional tetapi juga global maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2019 yaitu Tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Amanat dalan Inpres ini antara lain menghentikan pemberian izin baru untuk penggunaan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. KESIMPULAN Kerusakan tanah yaitu berubahnya sifat-sifat dasar tanah sehingga melampaui kriteria baku untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman menghasilkan biomassa, luasannya akan terus bertambah setiap tahun. Di Indonesia luas tanah yang mengalami proses kerusakan degradasi pada tahun 2008 mencapai luasan 77,8 juta ha dan mencapai level kritis/rusak sekitar 14 juta ha. Tanah lahan perkebunan di Indonesia rentan mengalami kerusakan baik tanah mineral maupun tanah penyebab kerusakan utama adalah antropogenik dan sifat tanah lahan perkebunan terhindar dari kerusakan maka perlu mengenal berbagai indikator kerusakan dan dampaknya terhadap pertumbuhan tanaman serta lingkungan. Indikator kerusakan dapat dikenal dengan mengetahui perubahan sifat fisika, kimia dan 118 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri biologi tanah. Berbagai indikatorbaru kerusakan tanah tersebut terus bermunculan sesuai dengan perkembangan ilmu pada tanah mineral ditemukannya crusting/sealing pada permukaan tanah, indikasi sifat pemadatan tanah, kandungan logam berat dan residu pestisida, dan kandungan mikroba. Sedangkan pada tanah gambut seperti perubahan simpanan karbon, tingkat respirasi, emisi gas rumah kaca GRK, perubahan tinggi muka air, subsidensi, tingkat kematangan gambut dan kontaminasi polutan. Pengenalan berbagai indikator kerusakan tanah tersebut bermanfaat untuk perbaikan kriteria baku dalam penilaian kerusakan tanah Dalam menjaga kelestarian sumberdaya lahan termasuk tanah padalahan perkebunan, banyak kendala yang sulit diatasi oleh kebanyakan petani, diantaranya keterbatasan modal sehingga tingkat investasi mereka dalam upaya konservasi tanah lahan perkebunan dari kerusakan adalah rendah. Namun bagaimanapun langkah preventif untuk menghindari terjadinya kerusakan adalah lebih baik dibanding langkah perbaikan tanah yang sudah rusak karena akan memakan waktu dan biaya perbaikan yang banyak. Seperti dikemukan Dirjen PDASHL Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk merehabilitasi tanah kritis/rusak seluas 14 juta ha memerlukan waktu 48 tahun. Strategi untuk melindungi tanah lahan perkebunan dari kerusakan antara lain dengan mengoptimalkan pertumbuhan tanaman perkebunan, menjaga penutupan kanopi, mengadopsi pola agroforestri, dan selalu menjaga kualitas tanah dengan bahan pembenah. Kerusakan tanah gambut lahan perkebunan dapat dihindari dengan penggunaan lahan berpedoman pada hasil penilaian kesesuaian lahan gambut, dan pemilihan komoditas yang ramah lingkungan. Kerusakan tanah lahan perkebunan juga dapat dihindari bila terus memberi pemahaman yang mendalam tentang bagaimana proses terjadinya kerusakan tanah dan dampaknya terhadap fungsi tanah sebagai media tumbuh dan dalam menjaga ekosistem kepada petani perkebunan, penyuluh dan pengambil kebijakan baik di daerah dan di pusat. Memperbaiki kehidupan petani perkebunan, di antaranya dengan memberi kemudahan dalam mendapatkan modal melalui KUR, adanya asuransi, subsidi pupuk dan sebagainya, juga akan berdampak positif dalam melindungi tanah dari kerusakan. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A. 2008 Teknologi dan strategi konservasi tanah dalam kerangka revitalisasi pertanian 1’, Pengembangan Inovasi Pertanian, 12, pp. 105–124. Agus, F. and Subiksa, I. G. M. 2008 Lahan Gambut Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor Balai Penelitian Tanah, ICRAF. Atmojo, S. W. 2006 Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian’, Solo Pos. Badan Pusat Statistik, _ 2018 Statistik Indonesia 2018. Jakarta. Boelter, D. 1968 Important Physical Properties of Peat Materials’, in The 3rd International Peat Congress. Dep. of Energy, Mines and Resources, Ottawa Canada, p. 154. Cayuela, M. L., Jeffery, S. and Zwieten, L. Van 2015 The molar H Corg ratio of biochar is a key factor in mitigating N 2 O emissions from soil’, Agriculture, Ecosystems and Environment’, 202, pp. 135–138. doi Costantini, E. A. C. et al. 2016 Soil indicators to assess the effectiveness of restoration strategies in dryland ecosystems’, Solid Earth, 7, pp. 397–414. doi Curebal, I., Efe, R., Soykan, A., and Sonmez, S. 2015 Impacts of anthropogenic factors on land degradation during the anthropocene in Turkey’, Journal of Environmental Biology, 36January, pp. 51–58. Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C., dan Marwanto, S 2004 Kepekaan Tanah Terhadap Erosi’, in Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng, pp. 7–19. Eickenscheidt, T., Heinichen, J. and Drösler, M. 2015 The greenhouse gas balance of a drained fen peatland is mainly controlled by land-use rather than soil organic carbon content’, Biogeosciences, 12, pp. Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 119 5161–5184. doi FAO 2003 Data sets, indicators and methods to assess land degradation in drylands. Roma Italy. FAO 2015 Global soil status, processes and trends, Status of the World’s Soil Resources. Fiantis, D., Hakim, N. and Ranst, E. Van 2005 Properties and Utilisation of Andisols in Indonesia’, JIFS, 2January, pp. 29–37. FKPR, Badan Litbang Pertanian, T. K. 2013 Kunjungan Kerja Tematik dan Penyusunan Model Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Inovasi Di Lahan Sub Optimal Kabupaten Lampung Barat. Jakarta. Hafif, B. Hikmatullah, Rachman, A., dan Sukmana, S. 1997 Penilaian Degradasi Tanah dengan Metode ASSOD yang Dimodifikasi, Sudi Kasus Kabupaten Ngada dan Manggarai, Flores’, in Kurnia, U. et al. eds Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, pp. 1–21 Hafif, B. 2017 Analisis Agroekologi dan Kebutuhan Irigasi Suplemen untuk Tanaman kakao di Provinsi Lampung’, Tanaman Industri dan Penyegar, 41, pp. 1–12. Hafif, B. 2019 Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat’, Perspekti, 181, pp. 1–15. Hafif, B. and Sasmita, K. 2020 The organic carbon dynamics of peat soil under liberica coffee cultivation’, in 1st International Conference on Sustainable Plantation 1st ICSP 2019, pp. 4–10. doi Hobbs, P. . 2007 Conservation agriculture what is it and why is it important for future sustainable food production ?’, Journal ofAgricultural Science 2007, 145, pp. 127–137. doi Jeffery, S., Verheijen, Kammann, C., and Abalos, D. 2016 Biochar effects on methane emissions from soils A meta-analysis’, Soil Biology and Biochemistry, 101, pp. 251–258. doi Karlen, D. L. and Rice, C. W. 2015 Soil Degradation Will Humankind Ever Learn ?’, Sustainability, 7, pp. 12490–12501. doi Kauffman, S., Sombroek, W. and Mantell, S. 1998 Soils of rainforests Characterization and major constraints of dominant forest soils in the humid tropics’, in Schulte, A. and Ruhiyat, D. eds Soils of Tropical Forest Ecosystems Characteristics, Ecology and Management, pp. 9–20. doi KNLH 2009 Pedoman Teknis Penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Pertama. Edited by M. Hikmat et al. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. KrĂŒger, J. P. et al. 2015 Biogeochemical indicators of peatland degradation - A case study of a temperate bog in northern Germany’, Biogeosciences, 1210, pp. 2861–2871. doi Kurnia, U., Sutrisno, N. and Sungkawa, I. 2010 Perkembangan lahan kritis Dalam Membalik Kecenderungan Degradasi Sumberdaya Lahan’, in. IPB PRESS, pp. 145–160. Lal, R. 1997 Degradation and resilience of soils’, Philosophical Transactions of The Royal Society B Biological Sciences , 352, pp. 997–1010. doi Lal, R. 2015 Restoring Soil Quality to Mitigate Soil Degradation’, Sustainability, 7, pp. 5875–5895. doi Leifeld, J., Klein, K. and WĂŒst-Galley, C. 2020 Soil organic matter stoichiometry as indicator for peatland degradation’, Scientific Reports, 101, pp. 1–9. doi Li, C. Grayson, R., Holden, J., and Li, P.. 2018 Erosion in peatlands Recent research progress and future directions’, Earth-Science Reviews, 185 August, pp. 870–886. doi Liniger, H., van Lynden, G., Nachtergaele, F., Schwilch, G., and Biancalani, R. 2013 Questionnaire for Mapping Land 120 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri Degradation and Sustainable Land Management QM, Lada. Ministry of Environment, I. R. 2010 Indonesia second national communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC. Summary for policy makers. Mulyani, A., Rachman, A. and Dariah, A. 2009 Penyebaran Lahan Masam, Potensi dan Ketersediaanya untuk Pengembangan Pertanian’, in Fosfat Alam. Balai Penelitian Tanah, p. 32. Oldeman, L. R. 1992 Global Extent of Soil Degradation’, pp. 19–36. Osaki, M. Kato, T., Juslianto, A., and Foead, N. 2019 Concept Note on" Responsible Management of Tropical Peatland ". Madrid. Page, S. E. Bank, Rieley, and Wust, R. 2006 Extent, significance and vulnerability of the tropical peatland carbon pool past , present and future prospects, Tropical Peatlands. Pandjaitan, N. dan Hardjoamidjojo, S. 1999 Kajian Sifat Fisik Lahan Gambut dalam Hubungan dengan Drainase untuk Lahan Pertanian’, Jurnal Keteknikan Pertanian, 133, pp. 87–96. Reddy, K Raja and Hodges, H. 2000 Climate Change and Global Crop Productivity’, in Reddy, and Hodges, H. eds Biologia Plantarum . ©CAB International 2000, pp. 1–6. doi Sabiham, S. and Sukarman 2012 Pengolahan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia’, Sumberdaya Lahan, 62, pp. 55–66. Sardjono, M. 2017 Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Fakta dan Peran Penting Kelapa Sawit’. Solo. Sari, D. A. P., Falatehan, A. F. and Ramadhonah, R. Y. 2019 The social and economic impacts of peat Land palm oil plantation in Indonesia’, Journal of Physics Conference Series, 13641. doi Sienkiewicz, J. Porębska, G., Ostrowska, A., and Gozdowski, D. 2019 Indicators of peat soil degradation in the Biebrza valley, Poland’, Ochrona Srodowiska i Zasobow Naturalnych, 302, pp. 41–51. doi Sims, G. K. 1990 Biological Degradation of Soil’. Singh, B. P., Cowie, A. L. and Smernik, R. J. 2012 Biochar Carbon Stability in a Clayey Soil As a Function of Feedstock and Pyrolysis Temperature’, Environmental Science & Technology, 46, pp. 11770–11778. Sofiyuddin, M., Jasnari, J. and Khususiyah, N. 2020 Coffee-based Agroforestry as an Alternative to Improve Local Livelihoods in Peat Landscapes of Sumatra Coffee-based Agroforestry Conclusion and Recomendation. Available at Soil Survey Staff 2014 Keys to soil taxonomy, Soil Conservation Service. Available at Subardja, D. Ritung, S., Anda, M, Sukarman, Suryani, E., dan Subandiono, 2014 Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. 1/2014. Edited by Hikmatullah et al. Bogor BBSDLP. Subiksa, I., Sukarman and Dariah, A. 2012 Prioritisasi Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Tanaman Pangan’, in Prospek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan, p. 394. Sukarman 2014 Pembentukan, Sebaran dan Kesesuaian Lahan Gambut Indonesia’, in Nurida, N. L. and Wihardjaka, A. eds Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. 1st edn. Bogor, pp. 2–15. Sukarman and Dariah, A. 2014 Tanah Andosol di Indonesia. Edited by M. Anda, Hikmatullah, and Y. Sulaeman. Bogor BBSDLP. Sunarti 2009 Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Susetyo, I. and Hadi, H. 2012 Pemodelan Produksi Tanaman Karet Berdasarkan Potensi Klon, Tanah, dan Iklim’, Jurnal Penelitian Karet, 301, p. 23. doi Sutrisno, N. and Heryani, N. 2013 Teknologi Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 121 Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah Degradasi Lahan Berlerreng’, J. Litbang Pertanian, 322, pp. 122–130. Verdoodt, A. 2012 Soil Degradation. Universiteit Gent, Faculty of Bioscience Engeneering, International Centre for Eremology. Wahyunto and Dariah, A. 2014 Degradasi Lahan di Indonesia Kondisi Existing , Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta’, Sumberdaya Lahan, 82, pp. 81–93. Wang, D. Fonte, Parikh, Six, J., and Scow, Biochar additions can enhance soil structure and the physical stabilization of C in aggregates Daoyuan’, Geoderma, 303, pp. 110–117. doi Wigena, Andriati. 2013 Evaluasi Kesesuaian Lahan Mineral dan Gambut untuk Peremajaan Tanaman Kelapa Sawit Studi Kasus pada Beberapa Kebun Plasma di Provinsi Riau’, Jurnal Sumberdaya Lahan, 72, pp. 77–95. Wigena, Sudradjat, Sitorus, dan Siregar H. 2009 Karakterisasi Tanah dan Iklim serta Kesesuaiannya untuk Kebun Kelapa Sawit Plasma’, Jurnal Tanah dan Iklim, 30, pp. 1–16. ... Penurunan kualitas tanah akibat pencemaran lahan ini sulit dihindari karena begitu banyak faktor lingkungan yang berpengaruh secara aktif terhadap perubahan penampakan permukaan bumi. Sejauh ini 85% wilayah permukaan bumi dipengaruhi oleh aktivitas manusia Hafif 2020. Penurunan kualitas tanah banyak terjadi karena adanya pencemaran limbah dari aktivitas manusia yang membuang limbah tanpa melalui tahap pengolahan limbah. ...Used oil waste contains the accumulation of metals in soil which causes a decrease in soil quality and could be pollutant that can poison the soil with the result that can affect the environment. Sengon Falcataria mollucana seedlings, cow manure and cocopeat are materials used to improve soil that has been contaminated with used oil. This study aims to analyze the effect of cow manure and cocopeat on the growth of the seedlings with an optimal dosage. The results showed that the application of cow manure and cocopeat increased the growth of seedlings and improved soil fertility that was contaminated with used oil. The application of cow manure had a significant effect on height, diameter, total wet weight, total dry weight, and root length. The S2C4 treatment 60 g of cow manure + 100 g of cocopeat gave optimal results on diameter and total dry weight, S3C4 90 g cow manure + 100 g cocopeat on root length, S2C0 60 g of cow manure for shoot root ratio, S3C0 treatment 90 g of cow manure for total wet weight, S1C2 cow manure 30 g and cocopeat 50 g for seed height. Keywords cocopeat, cow manure, Falcataria mollucana, used oil waste Jadwiga SienkiewiczGraĆŒyna PorębskaApolonia OstrowskaDariusz GozdowskiPeat mineralisation leads to net loss of CO2 to the atmosphere, as well as to release of other elements from the decomposed soil organic matter SOM to groundwater. This results in the degradation of peat soils and the ecosystems they support. Here we evaluated the practical indicatory suitability of the existing and proposed new indices for the assessment of peat soil degradation in the Biebrza river valley encompassing, unique on European scale, peatland ecosystems. We studied relationships between soil organic carbon SOC and total nitrogen Ntot, dissolved organic carbon DOC and dissolved organic nitrogen DON in a series of degraded peat soils in the Biebrza valley. Samples were taken from soils developed on peat deposits that varied in thickness and the degree of peat decomposition, from undegraded to highly mineralised peats. The relationships between changes in the SOC content and changes in the values of the remaining variables SOM, Ntot, DOC, DON, C/N ratio, were statistically tested. Linear and non-linear regressions were used to establish the relationships amongst the variables examined. The losses of soil C and N occur independently and differ between stages of peat soil mineralisation. From our study, it results that the peat mineralisation intensity may be estimated based on the loss of SOC. We found that 1% loss of SOC corresponded to loss of SOM, regardless of the degree of peat soil mineralisation, whereas SOM solubility, measured by the content of DOC, varied based on the intensity of peat soil mineralisation. The content of DOC decreased with the decrease in the SOC content, whereas the DOC/ SOC ratio increased depending on the intensity of peat decomposition. The C/N ratio is not a reliable indicator of peat mineralisation, because its values are driven not only by the nitrogen natively present in peat soils but also by nitrogen from external sources. The contents of SOC and Ntot did not decrease uniformly during peat decomposition because C and N show various mobility in the processes of SOM mineralisation. We found that the DOC/SOC ratio was most indicative of peat soil mineralisation intensity. © IOÚ-PIBPeatlands accumulate organic matter OM under anaerobic conditions. After drainage for forestry or agriculture, microbial respiration and peat oxidation induce OM losses and change the stoichiometry of the remaining organic material. Here, we i evaluate whether land use cropland CL, grassland GL, forest FL, natural peatland NL is associated with different peat stoichiometry, ii study how peat stoichiometry changes with OM content and iii infer the fate of nitrogen upon soil degradation. Organic C and soil N were measured for 1310 samples from 48 sites in Switzerland, and H and O for 1165. The soil OM content and C/N ratio were most sensitive to land use and are hence best suited as indicators for peatland degradation. OM contents CL 10 years mature productive plants. Each observation consisted of 16 trees. The results showed that the average CO2 emissions from the peat cultivated Liberica coffee around Mg CO2/ha/year, while it from peat soil under natural forests were reported to be 20-40 Mg CO2/ha/year. The litters of the productive Liberica coffee trees return organic C to the peat about to Mg/ha/year. Compost of Mg/ha of Liberica coffee cherries cascara and parchment, applied by farmers as a fertilizer also returned Mg/ha/year of organic C, while the number of organic C carried by Mg/ha/year of the Liberica coffee green beans was only 825 kg/ha/year, approximately. This study showed that the Liberika coffee cultivation on peat soil is a safe way to conserve C in peat area of peatland in Indonesia reaches 13 million hectares, around million hectares, used for plantations. Around 700 to 800 thousand ha are used for oil palm plantations, with a productivity of 20-25 tons / ha / year, this value is no less than that of other types of land. The purpose of this study was to analyze the social and economic impacts of oil palm plantation development, analyze the financial feasibility of cultivation on peat and non-peat lands and analyze the sustainable management model of oil palm plantations. The results of this study, the development of oil palm plantations has a positive impact on economic and social conditions. Social problems arose between the company and the community in the management of oil palm plantations when the government issued a moratorium on permits for the opening of oil palm plantations on peatland due to fire. The exploitation of oil palm on peatlands has lower benefits compared to mineral land. Management of oil palm plantations can be carried out on peatlands, but it is necessary to consider water regulation so that oil palm plantations are sustainable on peatland because peatlands are easily damaged organic soils are considered to be hotspots for greenhouse gas GHG emissions. Arable lands and intensively used grasslands, in particular, have been regarded as the main producers of carbon dioxide CO2 and nitrous oxide N2O. However, GHG balances of former peatlands and associated organic soils not considered to be peatland according to the definition of the Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC have not been investigated so far. Therefore, our study addressed the question to what extent the soil organic carbon SOC content affects the GHG release of drained organic soils under two different land-use types arable land and intensively used grassland. Both land-use types were established on a Mollic Gleysol labeled Cmedium as well as on a Sapric Histosol labeled Chigh. The two soil types differed significantly in their SOC contents in the topsoil Cmedium % SOC; Chigh % SOC. We determined GHG fluxes over a period of 1 or 2 years in case of N2O or methane CH4 and CO2, respectively. The daily and annual net ecosystem exchange NEE of CO2 was determined by measuring NEE and the ecosystem respiration RECO with the closed dynamic chamber technique and by modeling the RECO and the gross primary production GPP. N2O and CH4 were measured with the static closed chamber technique. Estimated NEE of CO2 differed significantly between the two land-use types, with lower NEE values −6 to 1707 g CO2-C m−2 yr−1 at the arable sites and higher values 1354 to 1823 g CO2-C m−2 yr−1 at the grassland sites. No effect on NEE was found regarding the SOC content. Significantly higher annual N2O exchange rates were observed at the arable sites g N m−2 yr−1 than at the grassland sites g N m−2 yr−1. Furthermore, N2O fluxes from the Chigh sites significantly exceeded those of the Cmedium sites. CH4 fluxes were found to be close to zero at all plots. Estimated global warming potential, calculated for a time horizon of 100 years GWP100 revealed a very high release of GHGs from all plots ranging from 1837 to 7095 g CO2 eq. m−2 yr−1. Calculated global warming potential GWP values did not differ between soil types and partly exceeded the IPCC default emission factors of the Tier 1 approach by far. However, despite being subject to high uncertainties, the results clearly highlight the importance of adjusting the IPCC guidelines for organic soils not falling under the definition in order to avoid a significant underestimation of GHG emissions in the corresponding sectors of the national climate reporting. Furthermore, the present results revealed that mainly the type of land-use, including the management type, and not the SOC content is responsible for the height of GHG exchange from intensive farming on drained organic CH4 emissions have increased by more than 150% since 1750, with agriculture being the major source. Further increases are predicted as permafrost regions start thawing, and rice and ruminant animal production expand. Biochar is posited to increase crop productivity while mitigating climate change by sequestering carbon in soils and by influencing greenhouse gas fluxes. There is a growing understanding of biochar effects on carbon dioxide and nitrous oxide fluxes from soil. However, little is known regarding the effects on net methane exchange, with single studies often reporting contradictory results. Here we aim to reconcile the disparate effects of biochar application to soil in agricultural systems on CH4 fluxes into a single interpretive framework by quantitative indicators may be used for assessing both land suitability for restoration and the effectiveness of restoration strategies in restoring ecosystem functioning and services. In this review paper, several soil indicators, which can be used to assess the effectiveness of ecological restoration strategies in dryland ecosystems at different spatial and temporal scales, are discussed. The selected indicators represent the different viewpoints of pedology, ecology, hydrology, and land management. Two overall outcomes stem from the review. i The success of restoration projects relies on a proper understanding of their ecology, namely the relationships between soil, plants, hydrology, climate, and land management at different scales, which are particularly complex due to the heterogeneous pattern of ecosystems functioning in drylands. ii The selection of the most suitable soil indicators follows a clear identification of the different and sometimes competing ecosystem services that the project is aimed at cover approximately of global land area while storing one third to one half of the world's soil carbon. While peat erosion is a natural process it has been enhanced by human mismanagement in many places worldwide. Enhanced peat erosion is a serious ecological and environmental problem that can have severe on-site and off-site impacts. A 2007 monograph by Evans and Warburton synthesized our understanding of peatland erosion at the time and here we provide an update covering i peat erosion processes across different scales; ii techniques used to measure peat erosion; iii factors affecting peat erosion; and iv meta-analyses of reported peat erosion rates. We found that over the last decade there has been significant progress in studying the causes and effects of peat erosion and some progress in modelling peat erosion. However, there has been little progress in developing our understanding of the erosion processes. Despite the application of new peat surveying techniques there has been a lack of their use to specifically understand spatial and temporal peat erosion dynamics or processes in a range of peatland environments. Improved process understanding and more data on rates of erosion at different scales are urgently needed in order to improve model development and enable better predictions of future peat erosion under climate change and land management practices. We identify where further research is required on basic peat erosion processes, application of new and integrated measurement of different variables and the impact of drivers or mitigation techniques that may affect peat soil amendments are often considered as a soil carbon C sequestration strategy that can have beneficial impacts on a range of soil properties and plant production. We investigated the impact of two distinct types of biochar on soil chemical properties, microbial communities, soil aggregation and aggregate-associated C within two California agricultural soils in a laboratory incubation study 60 weeks. Water stable aggregation and associated C were examined via wet-sieving to obtain four aggregate size classes large macroaggregates 2000-8000 ÎŒm, small macroaggregates 250-2000 ÎŒm, microaggregates 53-250 ÎŒm and silt and clay fraction < 53 ÎŒm. Biochars enhanced aggregation in the finer textured Yolo soil, with 217% and 126% average increases in mean weight diameter for a softwood biochar pyrolyzed at 600-700 °C with algal digestate and a walnut shell biochar gasified at 900 °C, respectively. The increase in aggregate stability was associated with an increase in physically-protected C incorporated into macroaggregates. Both biochars had substantial impacts on microbial community composition in both soils, but only increased microbial biomass in Yolo soil. In the coarser textured Vina soil, neither biochar had an effect on aggregation and the subsequent lack of soil organic matter SOM stabilization in macroaggregates was associated with a significant loss of soil C in both biochar treatments over the course of the incubation. Our results suggest that biochar can increase the physical-protection of SOM in Yolo soil by enhancing the proportion of C stored within macroaggregates and thus offers a novel mechanism by which biochar may contribute to soil C sequestration. Better understanding of these drivers and identifying soil conditions that determine whether biochar will physically protect SOM vs. stimulate soil C loss must be considered in managing agroecosystems for both mitigation of, and adaptation to, climate SusetyoHananto HadiTiap jenis tanaman menghendaki syarat iklim dan tanah tertentu bagi pertumbuhan optimalnya. Menyangkut hubungan tanah-tanaman, terdapat hubungan erat antara keserasian tanah dengan faktor-faktor curah hujan. Walaupun pengaruh curah hujan terhadap pertumbuhan tanaman amat bergantung pada penyebaran dan tipe tanahnya, namun antara curah hujan dengan produksi tanaman terdapat hubungan umum yang kuat. Tanaman karet merupakan salah satu jenis tanaman hutan asli di lembah Amazon dengan ketinggian 200 mdpl dan dekat dengan ekuator. Daerah ini memiliki karateristik suhu antara 24 sampai dengan 28oC dengan curah hujan rerata 1500 – 2500 mm/tahun. Selama ini penentuan kualitas lahan kaitannya dengan produksi tanaman karet masih bersifat kualitatif dengan berbagai macam versi. Penelitian mengenai hubungan antara potensi klon, tanah, dan iklim dengan produksi tanaman karet secara kuantitatif belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model potensi produksi karet klon tertentu pada wilayah dengan karateristik tanah dan iklim tertentu spesifik wilayah. Asumsi yang digunakan untuk menentukan nilai optimal masing-masing adalah mengunakan persamaan regresi tipe kuadratik regression quadratic model Hasil penelitian menunjukkan hasil optimal untuk pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut yaitu 2640 mm curah hujan per tahun, 133 hari hujan pertahun, 3. bulan kering per tahun, 168 m dpl, 55 % jumlah fraksi lempung, dan drainase kriteria ke-3 atau weel drained. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan persamaan matematsi dapat digunakan untuk menentukan potensi klon tertentu pada suatu wilayah dengan cepat dengan tingkat akurasi 79,19 %. Diterima 17 April 2012; Disetujui 11 Juli 2012How to Cite Susetyo, I., & Hadi, H. 2012. Pemodelan produksi tanaman karet berdasarkan potensi klon, tanah, dan iklim. Jurnal Penelitian Karet, 301, 23-35. Retrieved from Lahanpertanian pada keadaan awal atau sebelumnya, keadaan saat ini , penyebab, dan dampak. - 8110842 d0ewaulfiyat d0ewaulfiyat 28.10.2016 Geografi Sekolah Menengah Atas terjawab ‱ terverifikasi oleh ahli Lahan pertanian pada keadaan awal atau sebelumnya, keadaan saat ini , penyebab, dan dampak. 1 Berikut adalah beberapa contoh dampak alih fungsi lahan pertanian berikut dengan penjelasannya. 1. Berkurangnya lahan pertanian Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi akibat negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Menurunnya produksi pangan nasional Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga melonjak, namun lahan pertanian justru semakin berkurang. 3. Mengancam keseimbangan ekosistem Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga kalau lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal serta dapat mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi efek penyebab banjir saat musim penghujan. 4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai Buat membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana serta prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga kalau lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana serta prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi. 5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan Buruh tani adalah orang-orang yang tidak memiliki lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga kalau lahan pertanian beralih fungsi serta menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka. 6. Harga pangan semakin mahal Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran kalau setelah itu harga-harga pangan tersebut menjadi mahal 7. Tingginya angka urbanisasi Kebanyakan kawasan pertanian terletak di wilayah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal dapat jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat. Berikutini adalah empat alasan mengapa praktik pembukaan lahan dengan cara membakar dapat berakibat buruk terhadap kondisi biofisik lahan gambut: 1. Menurunkan kesuburan tanah gambut. Lahan gambut dikenal memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Banyak yang berpikir bahwa membakar lahan gambut dapat mengurangi kadar keasaman tanah. ï»żPenyebab kerusakan Tanah merupakan salah satu unsur penunjang kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan lingkungan hidup. Di dalamnya terdapat komponen tanah yang menjadi unsur pembentuk tanah berupa mineral, air, organik, udara, dan jasad Juga Dampak Tanah LongsorDampak Pemanasan GlobalLaut Pasang SurutPenyebab Kerusakan TanahFungsi tanah bagi tanaman memiliki peran yang sangat sentral, artinya apabila terjadi kerusakan tanah maka rusak pula tanaman yang tumbuh di atasnya. Secara umum penyebab kerusakan tanah bisa kita kategorikan kedalam dua bentuk yakni faktor alam dan faktor manusia. Apa saja penyebab kerusakan tanah yang saat ini telah menjalar di berbagai kawasan khususnya di Indonesia? berikut Erosi TanahMendengar istilah ini bukan merupakan suatu hal yang aneh di telinga kita. Erosi tanah adalah bentuk berkurangnya lapisan tanah yang penyebabnya adalah bisa angin atau juga air, bahkan hingga ulah manusia sendiri. Erosi tanah ini akan memindahkan tanah dari tempat tanah semula berada. Setidaknya ada tiga tahapan dalam proses terjadinya erosi tanah akan mengalami pengelupasan terlebih dahulu ketika ada angin atau air mengenai permukaan tanah dengan tingkat intensitas yang tanah mengalami pengangkutan, tanah yang terkelupas tersebut kemudian akan diangkut baik oleh aliran air atau terjangan angin ke permukaan tanah yang tidak lebih tinggi atau adalah pengendapan tanah, ketika tanah telah berada pada permukaan yang lebih rendah sehingga tidak mungkin untuk mengalami proses pengelupasan lagi maka ditempat yang baru tersebutlah tanah akan mengalami pengendapan. Tahap-tahap tersebutlah yang kemudian menjadi penyebab terjadinya kerusakan Pencemaran Limbah DomestikLimbah ini bisa berbentuk padat dan juga bisa berbentuk cair. Limbah jenis ini merupakan limbah yang berasal dari pemukiman penduduk, pasar, perhotelan. Dan juga dari kelembagaan seperti kantor-kantor pemerintah dan lainya. Oleh karena itu, pengolahan limbah domestik menjadi suatu hal mutlak yang harus dilakukan. Akibat limbah domestik ini kandungan dalam tanah akan terpengaruh dan tanah menjadi Juga Daftar Gurun di ChinaEkosistem GurunBioma GurunGurun Paling Berbahaya di Dunia3. Pencemaran Limbah PadatDinamakan limbah padat sebab limbah jenis ini tidak bisa diolah oleh mikroorganisme menjadi suatu senyawa yang bisa menjadi unsur pembentuk tanah. Limbah ini biasanya berupa plastik, karet, serat, bekas bahan bangunan dan lainnya. Dampak utama dari limbah ini adalah tidak bisa ditambuhkan limbah padat oleh akar tanaman. Tidak bisa ditembusnya senyawa tersebut oleh air sehingga unsur pembentuk mineral tanah akan berkurang, di tambah mikroorganisme yang mampu menyuburkan tanah juga berkurang drastis akibat berkurangnya tanaman di atas permukaan Pencemaran Limbah cairLimbah cair ini biasanya berupa bahan kimia yang dibuat pabrikan seperti deterjen, oli dan bahan sejenis lainya. Bahaya dari limbah ini adalah dapat membunuh mikro-organisme yang hidup di dalam tanah. Limbah cair ini lebih banyak disebabkan oleh pencemaran limbah Pencemaran Limbah IndustriSesuai namanya limbah ini berasal dari suatu kegiatan industri yang dilakukan pabrik. Limbah industri ini biasanya mengahasilkan suatu zat beracun yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup mikro-organisme di tanah. Limbah ini umumnya seperti zat tembaga, logam dan industri kimia sejenis. Zat yang terkandung dalam logam biasanya berupa Hg, Zn, Pb, Cd. baca jugapengolahan limbah industri. Karena mikroorganisme di tanah berkurang maka kesuburan tanah pun juga akan Juga Hutan Terlebat Di DuniaTaman Hutan RayaProvinsi Dengan Hutan Terluas di Indonesia6. Limbah PertanianSudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonensia yang lebih suka memakai produk-produk kimia dalam menanggulangi hama atau juga mempercepat tumbuhnya tanaman. Misalnya dengan menggunakan urea dan pestisida untuk memberastas hama dari suatu tanaman. Bahan-bahan tersebutlah yang kemudian justru akan merusak unsur kualitas dari tanah, sebab pestisida ternayata tidak hanya akan membunuh hama saja melainkan juga membunuh mikro-organisme. Macam-macam limbah pertanian ini biasa terdiri dari limbah cair dan juga limbah Kegiatan PertambanganKegiatan pertambangan juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang tidak kecil, bahkan kegiatan pertambangan bisa menyebabkan kerusakan yang sangat besar. Pertambangan sangatlah berdampak besar bagi kerusakan segala ekosistem di sekitarnya. Penggalian, penggundulan hutan menjadi penyebab rusaknya tanah disekitar lokasi tambang. Salah satu bukti nyata kerusakan tanah akibat dari pertambangan adalah apa yang terjadi di Papua akibat penambangan Juga Fenomena Alam di LangitFenomena Alam Bulan KembarGerhana Matahari Cincin8. Penebangan HutanPenebangan hutan sebenarnya sangat berkaitan dengan penyebab pertama berupa erosi tanah. Penggundulan hutan besar-besaran akan menyebabkan daya ikat tanah berkurang sehingga apabila terjadi aliran air yang deras tidak akan ada yang menahan tanah sehingga menyebabkan erosi besar-besaran. Hal tersebutlah salah satu dampak penebangan hutan secara Proses Mekanis Air HujanProses mekanis air hujan yang dimaksud adalah suatu bentuk peristiwa pengikisan tanah saat hujan turun dengan sangat deras. Tanah akan tergores perlahan-lahan hingga membesar sampai berbentuk hampir sama dengan selokan di daerah yang vegetasinya rendah. Akibat hal tersebut berkubik-kubik tanah akan hanyut ke daerah lain, sehingga tanah bersangkutan akan hilang kualitasnya dan bahkan rusak. baca proses terjadinya hujan10. Aktivitas ManusiaAktivitas pengolahan lahan oleh manusia secara sembarangan tidak memperhatikan kaidah-kaidah pengolahan tanah akan berdampak pada kerusakan tanah secara besar-besaran. Misalnya, secara sembarangan di lahan lereng manusia mengolah lahan tanpa membuat bentuk bidang terasering sehingga mudah sekali lahan terkena erosi. baca pengertian teraseringDampak Kerusakan TanahAdapun dampak dari kerusakan tanah ini selain juga akan merusak tanah, juga akan menyebabkan beberapa masalah lain sebagai berikut1. Dampak Erosi TanahSebagaimana disinggung di atas, bahwa erosi akan menyebabkan hilangnya atau berpindahkan lapisan permukaan tanah ke bagian lain yang lebih rendah ketinggian tanahnya. Ada beberapa dampak dari erosi ini terhadap tanah yakniProduktifitas tanah menjadi menurunUnsur hara yang bermanfaat bagi tanaman akan hilangKarena kehilangan unsur hara kesuburan tanaman juga menurunRusaknya struktur tanahAkan mempersempit lahan yang dapat ditanamiKarena produktifitas tanah menurun, produktifitas tanaman juga menurunPendapat petani menurun2. Dampak Pencemaran TanahDampak bagi kesehatanPemakaian pestisida secara terus menerus akan mencemari unsur-unsur tanah. Sehingga tanah kemudian akan terkandung bahan-bahan kimia. Bahan tersebut kemudian jika terserap oleh tanaman, maka tanaman yang tumbuh di atasnya akan terkandung bahan kimia. Jika hal tersebut terjadi pada lahan pertanian, maka hasil-hasil pertanian yang biasa dijadikan konsumsi rumahan maka akan terserap ke dalam tubuh. Hal itu, kemudian akan membahayakan bagi kesehatan tubuh. Sebagai contoh, Benzena yang bisa menyebabkan leukimia dan air raksa yang menjadi penyebab kerusakan bagi lingkunganDampak utama bagi lingkungan ini adalah khususnya terjadi pada metabolisme tanaman. Rantai makanan dari mikro-organisme yang berkurang akibat pencemaran akan sangat berdampak pada kualitas tanah disekitarnya, sehingga proses metabolisme tanaman akan berkurang. Dampak pencemaran lingkungan tersebut akhirnya adalah tanah mati yang tidak bisa ditanami tumbuhan jenis Dampak Kegiatan PertambanganDalam waktu yang sangat singkat kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh manusia akan merubah semua bentuk ekologi di kawasan sekitarnya. Penebangan hutan, pengerukan tanah, hingga pemotongan lereng gunung akan sangat berdampak pada keseimbangan alam di sekitarnya. Tanpa memperhatikan kondisi geologi alam sekitarnya, kegiatan pertambangan akan mengakibatkan tanah longsor, ledakan tambang, gempa dan reruntuhan lainya. Adapun beberapa dampak negatif dari adanya kegiatan pertambangan antara lainPolusi udaraMenurunnya permukaan bumiPencemaran limbahPencemaran lingkungan dan masalah kesehatanKerusakan lahan perkebunan dan pertanianBanjir, longsor dan punahnya keanekaragaman hayatiBaca Juga Planet BumiUnsur Cuaca dan IklimFaktor Penyebab Iklim Musim di IndonesiaIklim di IndonesiaDemikianlah beberapa faktor penyebab kerusakan tanah yang harus kita hindari. Banyak sekali macam-macam bencana alam di Indonesia yang disebabkan oleh rusaknya tanah saat ini sedang marak-maraknya terjadi. Oleh karenanya perlu perhatian khusus dari berbagai kalangan untuk lebih memperhatikan tanah. Artikel Terkait” state=”closedNegara Penghasil Pisang Terbesar di DuniaNegara Penghasil Kopi Terbesar di DuniaNegara dengan Koneksi Internet TercepatNegara Penghasil Kelapa SawitNegara Penghasil MinyakNegara Terkecil di DuniaNegara Dengan Pendidikan TerbaikNegara Dengan Jumlah Bahasa TerbanyakArtikel LainnyaBendungan Terbesar di DuniaDampak Kerusakan Flora dan FaunaJenis-jenis Barang TambangSumber Daya Alam Nabati Kekayaan Alam IndonesiaPotensi Sumber Daya AlamSumber Daya Alam PertanianFungsi HutanJenis jenis Sumber Daya AlamSumber Daya Alam Yang Dapat Diperbaharui dan tidak dapat diperbaharuiPengertian Kekayaan Alam Cara Melestarikan Alam Bioma Hutan GugurPotensi Sumber Daya Alam HutanHutan Terluas di DuniaZona LautSumber Daya Alam Berdasarkan JenisnyaBioma TaigaManfaat Letak Astronomis IndonesiaSumber Daya Alam BiotikProses Pengolahan Kelapa SawitKenampakan Alam di IndonesiaPenyebab Kebakaran Hutan dan cara penanggulangannyaJenis Tanah yang Baik untuk Kelapa SawitCiri- ciri Lahan BasahKeanekaragaman Hayati di indonesiaPengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Keanekaragaman HayatiHutan WisataPengertian GeyserGerhana Matahari Cincin Dapatmeningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air. Daya tahan sebagai pemantap tanah cukup memadai, tidak terlalu singkat dan tidak terlalu lama. Tidak bersifat racun dan harganya terjangkau. Demikian Penjelasan Materi Tentang Degradasi Lahan : Pengertian, Sumber, Dampak, Remediasi, Bioremediasi, Bentuk, Faktor dan Upaya Semoga Materinya Food photo created past evening_tao – Dunia saat ini telah memasuki era revolusi industri yang ke-empat atau disebut juga Revolusi Industri ditandai dengan penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan net. Kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap produk domestik bruto nasional, kini menurun secara signifikan. Sektor pertanian tidak lagi menjadi salah satu sumber perekonomian terbesar di Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah, dunia pertanian kemudian mengadopsi istilah Revolusi Pertanian dimana pertanian diharapkan melibatkan teknologi digital dalam proses pengembangannya. Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini adalah konsep pertanian cerdas, yang biasa juga disebutsmart farming atauprecision agronomics. Konsep ini merujuk pada penerapan TIK pada bidang pertanian. Tujuan utama penerapan terknologi tersebut adalah untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil kualitas dan kuantitas dan efisiensi penggunaan sumber daya yang ada. Faktanya, revolusi industri dalam sektor agrikultur ternyata lebih dominan terjadi di Eropa. Hal ini disebabkan oleh adanya bencana demografi, yaitu keadaan dimana jumlah penduduk yang berusia produktif lebih sedikit dibanding penduduk yang berusia non-produktif sehingga tenaga penduduk harus digantikan dengan teknologi. Sedangkan di Indonesia sendiri, revolusi industri terutama di sektor pertanian belum begitu berhasil berkembang. Berikut adalah beberapa hal yang menjadi penyebab revolusi industri belum berhasil diterapkan di Indonesia 1. Sumber Daya Manusia Faktanya, sebagian besar petani berusia lebih dari twoscore tahun dan lebih dari seventy persen petani di Republic of indonesia hanya berpendidikan setara SD bahkan di bawahnya. Pendidikan formal yang rendah tersebut menyebabkan pengetahuan dalam pengolahan pertanian tidak berkembang serta monoton. Petani hanya mengolah pertanian seperti biasanya tanpa menciptakan inovasi-inovasi terbaru demi peningkatan hasil pangan yang berlimpah. ii. Kondisi Lahan Pertanian di Indonesia Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebaran penduduk dan pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya merata. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya “Lahan Tidur” atau lahan yang belum tergarap oleh masyarakat di daerah-daerah pedalaman, sementara, lahan di suatu wilayah strategis justru menjadi rebutan dengan harga mahal. Mengingat harga tanah yang semakin melonjak tinggi, luas kepemilikan lahan pertanian para petani di Republic of indonesia pun rata-rata kecil. Bahkan, sebagian besar petani hanya bisa menggarap lahan milik orang lain sehingga hasilnya pun harus dibagi dua. Selain itu, dampak akibat konversi lahan pertanian menjadi not pertanian yang mencapai 150-200 ribu per tahun juga menyebabkan petani kekurangan lahan untuk bercocok tanam. 3. Teknologi Belum Sepenuhnya Diterima Masyarakat Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi mod dalam pengelolaan pertanian belum mampu diterima secara luas oleh para petani yang masih banyak memilih menggunakan peralatan tradisional dibanding peralatan teknologi canggih. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat laju teknologi untuk merambah sektor pertanian secara luas. Nah, di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan edukasi yang cukup bagi para petani agar dapat memajukan sektor pertanian di era revolusi industri ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan mungkin berupa memberikan penyuluhan besar-besaran dan melakukan demo penggunaan alat pertanian yang dilengkapi dengan teknologi modern. Nah, itu dia informasi mengenai revolusi industri pada pertanian di Indonesia dari LINE Jobs. Teknologi masa kini memang telah merambah ke berbagai sektor hingga ke berbagai akses kehidupan. Namun, teknologi juga harus digunakan secara bijak dengan tetap melihat dampaknya dari berbagai sisi. Dalam pertanian misalnya, jangan sampai teknologi hanya dikuasai oleh segelintir orang atau merusak ekosistem yang ada tanpa mempedulikan keseimbangan lingkungan. Kita juga perlu mengantisipasi jangan sampai kehadiran teknologi justru menyebabkan banyak tenaga kerja yang tersingkir dari sektor pertanian. Selain itu, hal yang paling penting adalah penggunaan teknologi modernistic tidak boleh menghancurkan pengetahuan turun temurun para petani Indonesia, seperti contohnya sistem Subak di Bali. Bagaimana pendapat Anda mengenai revolusi industri pada pertanian di Indonesia? Jangan lupa tuliskan pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia. Perekonomiandi Indonesia menghadapi tekanan selama pandemi dan mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -2,07% (YoY) dibandingkan pada tahun 2019. Hal tersebut berbeda dengan sektor pertanian yang malah masih bisa bertumbuh secara positif. Sektor Pertanian dipandang mampu bertahan di masa pandemi saat ini.
Pesatnya pembangunan dan naik pertumbuhan jumlah penduduk membuat penggunaan lahan-lahan didaerah semakin berkurang seperti contohnya penggunaan lahan-lahan resapan air, pembukaan lahan kehutanan dan pembangunan dilahan pertanian. Lahan Pertanian Banyak faktor yang dapat menyebabkan berkurang atau menyempitnya lahan pertanian, berikut blog sampul pertanian akan merangkum 5 faktor penyebab berkurangnya lahan pertanian, sebagai berikut, 1. Faktor Pembangunan perumahan Faktor pembangunan perumahan menjadikan faktor utama yang bisa mengurangi lahan pertanian versi blog sampul pertanian. karena faktor ini tidak lepas dari meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tempat hunian atau perumahan dan pembangunan perumahan-perumahan tersebut dibangun dilahan pertanian, hal tersebut menyebabkan lahan pertanian dapat berkurang dengan pesat. 2. Faktor Industri Faktor Industri adalah faktor lainnya yang bisa mengurangi lahan pertanian, salahsatu contoh faktor industri yaitu pembangunan Pabrik, peternakan dan kolam perikanan. pembangunan tersebut terkadang dibangun dilahan pertanian. 3. Faktor pembangunan proyek Faktor pembangunan proyek seperti contohnya pembangunan atau perluasan proyek jalan, proyek perkantoran atau proyek lainnya, faktor ini terkadang menggunakan lahan pertanian untuk pembangunannya. 4. Faktor alam Faktor alam memang jarang terjadi, namun fakto alam juga bisa menjadikan berkurangnya atau menyempitnya lahan pertanian, seperti contohnya dari faktor alam adalah kekeringan, abrasi, longsor dan lain-lain 5. Faktor lainnya atau faktor tidak langsung Faktor ini memang tidak sadar dilakukan karena faktor ini tidak berdampak langsung terhadap lahan pertanian namun berdampak terhadap lahan pertanian, seperti contoh faktor penebangan hutan yang berakibat berkurangnya stok air kelahan pertanian, rusaknya jalur irigasi dan tidak adanya regenerasi petani muda. Demikian artikel tentang 5 Faktor penyebab berkurangnya atau menyempitnya lahan Pertanian, semoga artikel ini berguna untuk kita lebih bijak penggunaan terhadap lahan pertanian, karena jika terus berkurangnya lahan pertanian terutama sawah, dikhawatirkan akan terjadi krisis pangan bagi kita semua. semoga bermanfaat.
UpayaMengatasi Dampak Perubahan Iklim. Upaya Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Di Sektor Pertanian - Iklim merupakan kondisi cuaca untuk jangka waktu yang lama, setidaknya 30 tahun, yang bersifat permanen. Elemen iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban udara dan radiasi matahari, di samping kondisi tanah, sangat mempengaruhi pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman. . 480 468 22 251 316 204 446 369

lahan pertanian keadaan awal sebelumnya keadaan saat ini penyebab dampak